Global Warming : KTT Perubahan Iklim Kopenhagen Diragukan Capai Kesepakatan

Monday, November 9, 2009

Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties (COP) 15 di Kopenhagen, Denmark pada 7-18 Desember mendatang diragukan akan mencapai kesepakatan baru. Padahal, COP 15 Kopenhagen ditargetkan bisa melahirkan kesepakatan baru pengganti Protokol Kyoto yang akan berakhir pada tahun 2012.

Keraguan itu didasarkan pada hasil perundingan terakhir menuju COP 15 yang digelar di Barcelona, Spanyol akhir pekan ini. Perundingan ini tak menghasilkan kesepakatan apapun, bahkan diwarnai aksi walk out oleh sejumlah negara Afrika. Negara-negara maju bersikeras tak menetapkan target pengurangan emisinya.

Aktivis Lingkungan, Arief Wicaksono memperkirakan, akan ada tiga skenario yang mungkin menjadi hasil dari konvensi di Kopenhagen tersebut. Skenario pertama, Protokol Kyoto akan mengalami perbaikan dan memasuki periode kedua (second period of commitment). Akan tetapi, konvensi ini tidak akan menghasilkan skema kesepakatan baru pasca Protokol Kyoto.

Dengan skenario ini, skema Reducing Emission from Deforestation dan Degradation (REDD) in Developing Countries, akan memiliki peluang untuk diakomodir sebagai tambahan pada perbaikan Protokol Kyoto.

"Kemungkinan tidak adanya kesepakatan baru sangat besar mengingat dalam pertemuan menjelang COP 15 negara-negara maju tetap tak mau menunjukkan komitmennya dalam penurunan emisi. Ini menyebabkan negara berkembang merasa ada ketidakadilan," kata Arief, saat mengisi workshop "REDD, Solusi atau Problem untuk Perubahan Iklim", di Cipayung, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (6/11).

Kedua, Protokol Kyoto tidak akan diperbaiki dan tidak ada kesepakatan tentang protokol baru. "Skema REDD tidak akan masuk dan yang berlaku tetap protokol lama," jelas Arief, yang saat ini aktif di The Samdhana Institute.

Skenario ketiga, Protokol Kyoto akan memasuki second period of commitment dengan segala perbaikannya dan disepakatinya draft kesepakatan baru di Kopenhagen. Akan tetapi, skenario ini diragukan menjadi kenyataan. Sebab, Amerika Serikat dan negara-negara Annex I (negara maju/industri) bersikeras tidak ada protokol baru.

Komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G-20 di Pittsburg, AS, beberapa waktu lalu, perlu pembuktian untuk mendorong negara-negara maju agar turut berkomitmen untuk menetapkan angka target penurunan emisi, sehingga membuka celah kesepakatan di Kopenhagen. Saat itu, Presiden SBY mengatakan, Indonesia menargetkan menurunkan emisinya hingga 26 persen pada akhir tahun 2020. Angka ini bisa meningkat hingga 41 persen, jika mendapatkan insentif dari negara-negara maju sesuai skema REDD.

"Posisi tawar Indonesia sebenarnya tinggi, karena negara kita tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi. Indonesia tidak termasuk negara Annex I. Saya khawatir, pernyataan Presiden hanya untuk meraih dukungan dan terwujud atau tidak masih perlu pembuktian dengan upaya-upaya yang dilakukan di Tanah Air," ungkap Arief.

Pasca-perundingan Barcelona yang berakhir tanpa kesepakatan, delegasi RI sendiri menyatakan akan mengupayakan untuk melakukan pendekatan ke beberapa negara kunci sebelum COP 15 Kopenhagen.
Kompas.com

Bookmark and Share

0 comments: